Ombak Nyalo Simutu Olang | Cerita Rakyat Kuansing

Ombak Nyalo Simutu Olang adalah sebuah cerita yang telah melegenda di Kabupaten Kuantan Singingi, tepatnya di Desa Pangean. Cerita ini masih melekat erat pada masyarakat Pangean. Bahkan nama Ombak Nyalo Simutu Olang digunakan sebagai nama Jalur di ajang Pacu Jalur, sebuah kebudayaan Kuantan Singingi yang telah menjadi event nasional serta masuk agenda wisata Nasional.


TEMPAT KEJADIAN
Cerita ini tejadi di sebuah desa yang bernama Pangean. Tepatnya disebuah sungai yang bernama Batang Pangean. Pangean adalah suatu negeri yang terletak dalam daerah Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi.
Tidak berapa jauh dari Pasar Usang, disebelah baratnya mengalir sebuah sungai Batang Pangean. Sungai itu berasal dari anak-anak sungai yang terkenal dengan nama sungai Tesso. Didalam sungai ini hidup berjenis-jenis ikan yang dapat menambah penghasilan rakyat yang hidup disekitarnya.


Apabila sungai ini banjir, air bergerak naik, ikan-ikan mulai memasuki sungai melalui sungai kuantan. Melihat ikan yang begitu banyak, penduduk Pasar Usang dan sekitarnya berebut-rebut menahan lukah untuk menangkap ikan yang masuk menuju ke hulu sungai.Salah satu tempat berkumpulnya ikan-ikan itu adalah disuatu lubuk yang bernama Lubuk Sayak.


Dilubuk inilah masyarakat berebut-rebut memasang lukah, menjala, merosok, meambai dan memosok. Musim kemarau, masyarakat bersiap-siap membuat lukah, jala, ambai dan posok. Alat penangkap ikan yang dianggap paling praktis digunakan untuk menangkap ikan adalah lukah. Untuk daerah rantau kuantan jika air meluap.
Masyarakat disekitar lubuk sayak telah mempersiapkan lukah. Negeri Pangean merupakan suatu negeri yang mempunyai banyak ragam kebudayaan di daerah rantau kuantan. Negeri Pangean merupakan pusat pengembangan olah raga bela diri yang terkenal dengan nama ‘Silat Pangean’.


Menurut orang tua-tua di Pangean ini banyak sekali cerita-cerita rakyat, yang bukti peninggalan cerita itu masih dapat dilihat dan dibuktikan kebenarannya. Dalam buku ini, cerita yang akan diungkapkan, adalah cerita “Ombak Nyalo dan Simutu Olang”.
Jarak negeri Pangean ke kota Teluk Kuantan lebih kurang 35 Km, dengan Pasar Baserah 7 Km. Masyarakat Pangean hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Seni bela diri yang terkenal di daerah ini adalah silat pedang, silat tangan dan silat perisai yang tetap berkembang dan lestari hingga sekarang ini. Kemampuan guru-guru silat dalam mempertahankan dirinya di negeri ini telah banyak membuktikan kemampuannya baik didalam maupun diluar daerah Rantau Kuantan Singingi. Dalam lingkungan pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, daerah Pangean terletak antara Kecamatan Benai dan Kecamatan Kuantan Hilir. Negeri tetangga yang terdekat dengan Pangean adalah disebelah barat Simandolak dan Siberakun dan disebelah timur berbatasan langsung dengan Baserah.


DUA SEKAWAN MEMASANG LUKAH
Salah satu alat penangkap ikan di negeri Pangean adalah lukah, lukah ini ada yang kecil, ada yang menengah dan ada yang besar. Yang kecil ini untuk menangkap ikan yang kecil, lukah yang sedang untuk menangkap ikan yang sedang pula, sedangkan lukah yang besar untuk menangkap ikan yang besar seperti ikan tapah dan patin.
Menangkap ikan adalah merupakan kegemaran masyarakat. Kebiasaan masyarakat, sebelum membangkit lukah yang besar, mereka terlebih dahulu menjenguk lukah yang kecil yang dipasang dalam sungai-sungai kecil. Menurut lazimnya mereka kerjakan kalau air banjir lukah-lukah penuh berisi ikan lampan atau sejenisnya.
Dua orang datuk yang sangat akrab, yaitu Datuk Topo, penghulu suku Melayu dengan Datuk Siak Pokih penghulu suku Paliang, keakraban kedua datuk ini sangat tinggi. Mereka seperti merpati dua sejoli, laksana pohon aur dengan tebing, seperti kuku dengan jari. Keakraban itu sampai memasang lukah di lubuk sayak. Kalau mendapat ikan selalu dibagi sama banyak. Kalau ikan dijual, ya sama dijual. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, pada hari pertama kejadian, dua sekawan menjenguk lukahnya tak berisi sama sekali. Umpan dalam lukah habis dimakan ikan, namun ikannya entah kemana. Dalam hati kedua datuk timbul tanda tanya, kecurigaan mulai datang, keinginan untuk membuktikan kasus ini mulai tumbuh, Untuk membuktikan kecurigaan ini, masing-masing mulai menyelidiki.


Siapa pelaku pencuri ikan dalam lukah mereka berdua. Selesai sholat subuh kedua datuk yang sehati dan sejiwa ini berangkat untuk mencari tau siapa yang sebenarnya telah mengambil ikan yang ada didalam lukah mereka. Di pagi buta itu Datuk Topo dan Datuk Siak Pokih bergerak mendekati lukah pertamanya dari kejauhan mereka melihat seorang gadis cantik berjalan di dekat lukah yang sedang terpasang. Gadis itu langsung mengangkat dan mengambil ikan yang ada pada lukah tersebut, pada mulanya kedua datuk ini tidak percaya gadis itu pencuri ikan dalam lukahnya, karena wajahnya yang cantik dan bentuknya yang menarik tidak mungkin seorang pencuri. Kemudian kedua datuk sekawan itu terus mengintip dan mengikuti gerak-gerik gadis itu sampai kepada lukah yang kedua.


Sampai pada giliran pada lukah yang ketiga hari pun sudah semakin terang, wajah sang pencuri semakin jelas, dengan sangat berhati-hati sampai kepada lukah yang keempat, lirikan dan pandangan mata gadis yang menawan itu semakin liar, gerak geriknya semakin mencurigakan, setelah pandang melayang jauh tak ada yang dikuatirkan gadis itupun turun membangkit lukah dan mengambil ikan yang ada di dalam lukah tersebut. Dalam keadaan mengambil ikan itulah, tiba-tiba datuk dua sekawan keluar dari semak-semak dan langsung dan mempergoki dan menangkap sipencuri, tanpa mengadakan perlawanan sipencuri digiring mereka masuk desa.


GADIS KAYANGAN TERTANGKAP MENCURI IKAN
Pagi itu, matahari mulai memancarkan cahayanya menerangi bumi. Sipencuri yang telah berpraktek selama 3 hari, akhirnya tertangkap tangan. Satu-satunya jalan bagi pencuri harus mengakui perbuatannya yang terlarang, dua sekawan tak mau main hakim sendiri. Sipencuri langsung dihadapkan kepada ninik mamak untuk diadili dan diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Sebelum gadis cantik itu diberi hukuman oleh ninik mamak, terlebih dahulu sipencuri ditanya oleh dua sekawan, siapa namanya, nama ayah, negeri asal, nama sukunya dan pekerjaannya.

Gadis itu menjawab: “Nama saya adalah Dayang Pinang, anak dari orang bunian, tidak bersuku dan tidak berkampung. Saya adalah seorang gadis yang diusir oleh ibu dan ayah, karena melanggar larangan dan pantangan dalam masyarakat jin di alam kayangan. Saya tidak dibenarkan lagi kembali ke alam kayangan. Kesetiaanku telah dicabut dan saya tidak mungkin untuk kembali lagi ke asalku, karena hidupku yang terlunta-lunta, kepada siapa saya akan mengadu, saya mencuri karena terpaksa. Disamping pekerjaan ini saya lakukan adalah dengan tujuan dan maksud yang terkandung dalam hati, agar saya ditangkap oleh para penghulu dan datuk di negeri ini. Saya telah tahu, bahwa datuk-datuk penghulu dua sekawan tidak akan menyiksa saya, seandainya saya mereka tangkap sekaligus akan mengetahui nasib dan penderitaan bathin yang sedang saya tanggungkan. Seandainya datuk penghulu memang marah pada kelakuan dan perbuatan saya yang tidak baik dan sangat dilarang di desa ini saya mohon ma’af dan berjanji tidak akan melakukan lagi.”

Mendengar pengakuan gadis yang cantik ini, datuk dua sekawan timbul rasa belas kasihan. Mereka berkata: “ Kami tidak akan menghukum, kami akan menjadikan anak kami. Walaupun kamu berasal dari bangsa jin.” Gadis cantik itu berkata : “karena saya telah mengucapkan janji, maka saya akan mengikuti perintah datuk. Kalau saya dibuang akan jauh, kalau digantung saya akan tinggi.”
Menyimak ucapan dan penyampaian gadis ini, datuk penghulu yang berdua, lembaga adat negeri memutuskan : “Kami dari lembaga adat dari suku-suku yang ada dalam negeri, memutus dengan mempertimbangkan pengakuan dari gadis kayangan serta pernyataan yang disampaikan oleh kedua datuk pimpinan suku dalam negeri, bahwa gadis kayangan ini dikembalikan kepada datuk yang berdua.” Demikian pelaksanaan rapat yang berlangsung selama tiga batang rokok ini. Untuk sementara, sesuai dengan perundingan dua sekawan, gadis cantik ini dibawa dahulu kerumah Datuk Topo, penghulu suku Melayu. Tentang ketentuan selanjutnya akan dimusyawarahkan setelah situasi agak tenang.

Kedua datuk ini mengadakan pertemuan, mendudukkan permasalahan gadis yang mereka pungut sewaktu mencari ikan, maka terjadi pertengkaran antara Datuk Topo dengan Datuk Siak Pokih. Datuk Topo berkata : “Kalau gadis ini tidak didudukkan permasalahannya, nasibnya akan sama dengan nasib yang sebelumnya. Saya menginginkan agar dia masuk kedalam suku melayu, karena suku melayu Negeri Pangean ini termasuk suku yang terbesar. Kalau dia masuk suku melayu berarti pemuda dari suku Paliang dan suku Cermin dapat melamarnya untuk dijadikan istri. Seandainya dia tidak dijadikan anak angkat, maka akan berezki adalah orang luar, kita yang merugi.”

Pendapat dan saran yang diutarakan Datuk Topo ini tidak mendapat sambutan yang baik oleh Datuk Siak Pokih. Mereka masing-masing ingin memiliki gadis cantik itu. Pertengkaran kedua sekawan ini tak kunjung berpangkal dan berujung dan mengarah kepada perkelahian mulut dan akan disudahi oleh bentrokan fisik. Keakraban yang terjalin baik selama ini akan pecah, akibat masing-masing mempertahankan pendapat dan keinginan.

Datuk Topo berkata : “Saya tidak menginginkan persahabatan kita yang baik dan kokoh, seperti kuku dengan jari, sekarang akan pecah dan pecahannya akan sirna karena permasahan ini. Terakhir saya nasehatkan, baik kita adakan pertandingan antara dubalang Suku Melayu dengan Dubalang Suku Paliang. Dubalang yang menang dalam pertandingan perkelahian, maka dialah yang berhak mengawini atau menikahi gadis kayangan itu. Yang kalah janganlah berkecil hati, karena masing-masing telah berusaha untuk mendapatkan gadis tersebut.” Pendapat Datuk Topo ini diterima oleh ketua penghulu. Sebagai tanda setuju perlu disadari: “Semenjak kita muda selalu kompak, serumpun bagaikan serai, sebungkus bagaikan nasi, sedoncing bak besi, seciok bak ayam, setelah tua, senja mulai melintas, cahaya kelabu telah terbentang luas, suatu pertanda umur kita tidak beberapa lagi, ajal telah menunggu, kematian datang menjemput, dunia akan ditinggalkan, kehidupan di akhirat perlu jadi perhatian.” Dasar permupakatan itu ditetapkan hari pertandingan perkelahian.

Datuk Penghulu Sutan menetapkan : “Pertandingan itu akan kita adakan tiga bulan lagi.” Datuk Topo menyetujui apa yang dikatakan oleh Datuk Penghulu Sutan. Hasil perundingan yang telah disepakati oleh Datuk Topo kemudian disampaikan kepada Jurai Monti dan Dubalang. Karena Dubalang suku Paliang pada waktu itu tidak ada, maka menurut para Monti baiknya didatangkan dubalang dari Kuntu Darussalam sebagai dubalang kita, dan dialah yang akan mewakili dubalang suku Paliang dalam pertandingan esok.
Menurut Datuk Siak Pokih : “Dubalang dari Kuntu Darussalam itu memang baik, punya ilmu kebathinan yang banyak.” Seorang Monti bertanya : “Kami dari Jurai Monti ingin tahu siapa nama dari dubalang kita itu?”, jawab Datuk Siak Pokih : “Namanya adalah Simutu Olang” Merupakan dubalang yang terkenal dari daerah Kampar Kiri. “Kalau begitu kami dari Monti setuju yang akan bertanding itu adalah Dubalang Simutu Olang, yang diharapkan akan dapat membawa nama baik Suku Paliang.” Monti yang lain berkata : “Mumpung kita dalam mupakat, saya mengusulkan, sebelum akan bertanding, Simutu Olang sudah berada di kampung ini, gunanya untuk mengatur siasat dan strategi yang sangat perlu kita bicarakan.”

Kata Datuk Siak Pokih : “Dalam bertanding, kita jangan memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan, kalau kita kalah, kita akan mengakui kekalahan kita, kita harus mengakui kehebatan dan kepintaran lawan. Juga sebaliknya kalau kita menang mereka harus mengakui kemenangan kita.” Setelah ada kesepakatan perundingan, masing-masing setuju untuk mendatangkan Simutu Olang untuk bertanding, dengan kekompakan para Monti demi melaksanakan keputusan datuk dua sekawan masing-masing setuju, semoga segala rencana akan berjalan dengan sukses dan lancar. Dengan adanya pertandingan ini, dikedai-kedai kopi muncul berbagai pendapat. Pendapat-pendapat itu mulai simpang siur. Disebuah kedai kopi seorang datuk penghulu berkata : “Dahulunya Datuk Topo dan Siak Pokih selalu kompak, mereka tak berselisih paham atau berbeda pendapat. Mereka sangat serasi, bahkan silang sengketapun jauh dari mereka. Mereka selalu ikut mengikuti, seiya sekata. Bak pepatah berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing, manis sama ditelan, pahit sama dimuntahkan, ke bukit sama mendaki kelurah sama menurun. Tuhan maha kaya yang dapat menciptakan isi alam ini terdiri dari berpasangan dan ada yang berlawanan.

Misalnya ada yang pintar dan ada yang bodoh, persatuan lawannya perpecahan, baik lawannya buruk. Benar sekali apa yang diucapkan orang-orang cerdik pandai dahulunya itu. Bak kata pemuka adat : “Sifat yang sama jangan dipertemukan. Yang harus dipertemukan adalah sifat dan pendapat yang berbeda.” Seisi kedai kopi duduk terdiam mendengarkan perkataan datuk itu. Datuk itu meneruskan lagi perkataannya : “Perbedaan itu dalam negara kita ini, membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kadangkala sifat yang sama akan membawa kepada kehancuran, sama-sama sabar mendatangkan malapetaka yang membawa kepada kefatalan. Tuhan telah menciptakan mahluk di dunia ini tidak ada yang sama. Kalau sama tapi berbeda. Kata orang sekarang, serupa tapi tak sama.
Sama bentuk fisik, berbeda pada sikap. Sama wataknya tapi bentuk kulit dan mukanya berbeda. Demikian tuhan menjadikan alam ini sangat bervariasi. Ada gunung ada lembah dan ngarai, ada padang pasir ada hutan belantara, ada samudera dan ada daratan yang maha luas. Ada sungai-sungai yang panjang dan berhenti-hentinya air mengalir ke muara. Dilangit ada bulan, bintang, awan dan hujan, cuaca mendung yang tebal dan gelap, sering-sering diiringi cahaya yang terang dan cerah. Hewan berkeliaran diatas dunia ini juga demikian. Ada yang jinak ada yang liar, ada yang buas dan ada yang memamabiak, ada yang besar dan ada yang paling halus bahkan sangat kecil. Diudara berterbangan burung-burung yang bulunya beraneka ragam, ada yang suaranya merdu menarik perhatian orang.

Pokoknya tidak ada yang sama, tempat sama waktu berbeda. Begitu pula Datuk Topo dan Siak Pokih, dulunya kompak, seiya sekata yang kini telah pecah. Dialam ini tidak ada yang kekal dan abadi, sifatnya selalu berobah. Memang begitu sifat dan kodratnya. Kalau kita mendapat dukungan dari penguasa, dukungan itu hanya sementara. Didesa ini yang berkuasa dalam adat adalah datuk penghulu dan ninik mamak. Penghulu punya anak, cucu dan kemenakan. Punya tanah ulayat yang dipersiapkan untuk kemenakan, mamak dalam adat berfungsi biangkan mencabik, gentingkan diputus, membuang jauh, menggantungkan tinggi, menghitam memutihkan. Yang bersalah dihukum yang berhutang membayar, tangan mencencang bahu memikul. Datuk dua sekawan sama-sama berminat untuk memiliki gadis cantik itu, akhirnya mereka bertengkar yang disudahi dengan adu dubalangnya. Inilah salah satu cara yang diambil jalan keluar untuk menghilangkan rasa ketidaksenangan diantara mereka berdua, adil dalam menimbang, tepat dalam mengukur, akan menghasilkan keputusan yang benar, yang akan dipegang erat, dituruti dan dipatuhi oleh anak cucu dan kemenakan dalam nagori.
(Bersambung………………...)

SUMBER:http://www.sungaikuantan.com/2009/11/ombak-nyalo-simutu-olang.html