LIPUTAN MALACCA STRAIT JAZZ FESTIVAL 2007
Geliga saat tampil di Malacca Jazz Strait 2007. Photo Arif Kusbandono ©Wartajazz.com
Kalau Anda datang untuk suatu hajatan bertajuk Malacca Strait Jazz Festival (MSJF), pastilah membayangkan penampil aneka bangsa yang diundang ke tapak selat sekitar kebudayaan Melayu. Mungkin jika harus menempuh jarak, muncul pula pengharapan menemui jazz yang beda (di Malaka) dengan perhelatan ibukota (di Jawa). Namun, tahan dulu segala sangka untuk mendengar juga ide penggagasnya. Salah satu pengarah, sahibul hajat MSJF, mengungkap bahwa di sini dihindari apa yang biasa dilakukan, “… sebatas mengumpul barang-barang dalam kubur….”. Demikian Yusmar Yusuf berujar, ia juga mengungkap bahwa pencarian yang diharapkan adalah sebagai pelancong di rumah-rumah batin orang lain, bukan sebagai peminta-minta, menyerbu malah. Zapin ketika dipetik Melayu tidak lagi menjadi bersuasana Arab, ghazal pun tidak lagi Persia. Maka, jazz & Melayu pun ditanggapi sama. Ben Pasaribu yang turut mengarahkan MSJF menjelaskan analogi proses tersebut lewat proses akulturasi panjang harmoni barat ketika bertemu Afro-Amerika.
***
Bagi yang menyimak hari pertama (29/06), ada kesan pemanasan. Dengaran seperti bebop “It’s Allright With Me” yang dilantunkan Gina Panizales bersama Eye2Eye Jazz Mix (Kuala Lumpur), menampilkan fretless-bass Albert Yap kebut-kebutan dengan alto sax Eddie Kismilardy. Arief Setiadi & Friends menjajal ballada “Native Tongue” (Kenny Garret). Band ini mencoba menyelipkan denting harpa Donna Angelina di antara Agam Hamzah (gitar), Adi Dharmawan (bass), dan Rudi Subekti (drums). Grup-grup pembuka berasal dari musisi panggung seperti Pekanbaru dan Batam (Pelangi, BMC, Riau Rhythm, dll.). Di antara band-band kombo tersebut hadir pula alat unik, seperti darabukka yang dimainkan Angga (Tanjung Balai Karimun). Perkusi yang dikempit lengan dan mengandalkan pukulan jemari ini dipelajarinya dari seorang Turki di Perancis. Esoknya, lebih banyak alat yang tak lazim pada band jazz (toh sudah pemanasan, kan?).
Ragam seleksi yang diurut untuk hari ke dua menggambarkan arahan program festival jazz umumnya. Sebagian penampil pembuka yang baru kali pertama melihat jazz secara live di hari pertama, benar-benar menjadikan ekspos pemanasan tersebut sebagai modalnya untuk permainan Sabtu itu. Maka jadilah, urut-urutan itu terus naik hingga malam menjelang. Di antaranya adalah yang disumbangkan musisi berlatar perguruan tinggi seni.
STSI Padangpanjang diwakili ensambel Minangapentagong. Berlatar mahasiswa yang belajar menguasai alat dalam kurikulum klasik, orkestra ini membawakan “The Spirit of Minangapentagong”. Terdidik “membaca” bukan berarti tidak muncul keberanian, Aan yang meniup saluang bersolo bebas dalam bahasa jazz. Laras natif instrumen ini memang bukan pentatonik blues (jazz lazim), tetapi ia masih bisa diajak berkelok keluar jangkauan lima nada aslinya. Alat yang berbatas, dibawa berlari-lari, menghasilkan tekstur unik di luar imajinasi sebelumnya. Komposisi apik yang seluruhnya ditulis rapi Kholis jadi tambahan modal grup dengan seksi tiup, gesek, dan band kombo ini. Ada kesan mentah, tapi hanya soal menanti kepiawaian berbuah.
Masih rombongan akademika, Unimed mungkin mirip UPI Bandung (satu contoh saja), institusi yang mencetak pendidik tetapi dalam perjalanannya menjadi komunitas yang mencetak pula penampil. Dan seperti umumnya komunitas yang berlandasan kuat (ia juga lingkungan akademik), ia menjadi persemaian cabang-cabang musik yang lebih pucuk, tuntutan kreatif kemudian mengarahkan pada coba-coba di wilayah kontemporer. Ansambel Kolegium Musikum: Unimed mengeksekusi klasik “Route 66″ bukan melenggak swing. Hembus sarune Palumun Ginting sirkular menahan bunyi panjang berkesan magis. Latar yang khusyuk tersebut diisi oleh solo jazz khas piano elektrik Rhodes & solo khas Moog yang dimainkan Mukhlis Hasbullah. Sebaliknya walking-bass dipakai pada “Nuri-nuri” yang justru bukan jazz klasik saat Ginting berpindah ke hasapi (kecapi). Intronya adalah duet gendang singanaki-singindungi dibantu Panji Suroso. Tamu Emmanuel Zimbert pada sampling komputer sambil ngerap bahasa Perancis dicoba “Medan-Paris”. Kehadiran tamu pemain tradisi berikutnya tidak lain adalah Ben Pasaribu yang membuka “Rondong Sada Wari” yang funky dengan meritme nada-nada taganing.
Trio Dingo yang dominan perkusi beroleh riuh sambutan penonton. Di tengah permainan kendang, Ron Reeves beraksi akrobatik dengan sikut & kakinya. Sajian sufistik dihantarkan alat-alat tiup Kim Sanders misalnya permainan gaidas (bagpipe Turki). Namun, lagu berlirik “Burn On” yang dinyanyikan Blair Greenberg agaknya sengaja dipilih seperti halnya Balawan menyisipkan “Semua Bisa Bilang” di antara improvisasi instrumental seperti “St. Thomas” dan “Mainz In My Mind” pada penampilan di hari pertama.
Melaju terus ke wilayah world music. Geliga naik didukung SIska yang mendendangkan “Mannasalwa” yang lebih dekat penonton Melayu. Komposisi instrumental seperti “Galaxy” pun masih terasa dekat karena untaian melodi khas yang dibunyikan akordeon Arman. Anggota band ini pun mengenal musik Melayu lebih dulu daripada jazz, sehingga memberikan pendekatan yang berbeda dengan orang yang sebaliknya. Ketika Arman ikut tampil dalam klinik bersama kibordis Eri Bob pun, solo akordeon yang terdengar berkonteks ritme, harmoni, dan konsep improvisasi jazz. Akan tetapi, melodinya untaian Melayu, untaian minor khas yang kalau dicoba rasanya sesulit meliuki etude untuk berlatih vocal pitch. Bagaimanapun, kesan “menge-jazz-kan lagu Melayu” masih kentara karena arransemen yang masih kuat hentak drumnya. Campur-campur berikutnya ditampilkan Saharadja yang telah masuk album kedua konsisten di perpaduan latin, Irlandia, India. Dengar saja “Nasi Campur” atau “Abracadabra” dengan permainan violin Sally Joe serta trumpet Rio Sidik.
Sajian semi-Bali Lounge (mengingat personil-personilnya) mengakhiri festival lewat pentas Harry Toledo yang bertema album Soul Emotion Bass. Penutup yang lebih hip ini mengangkat suasana penonton, mengingat malam itu adalah malam minggu, malam hiburan, dengan Pekan Baru menggelar kontes DJ dan Kondang-In pada saat yang bersamaan.
Posted on 06 July 2007 by Arif Kusbandono
0 komentar:
Posting Komentar