Estetika Dan Keindahan Seni Tari Melayu

Tari dalam fungsinya sebagai karya seni yang dihayati untuk mendapatkan pengalaman estetika dan bukan dalam fungsinya yang lain, seperti untuk upacara, hiburan, pergaulan, penerangan, pendidikan, dan lain-lain, karena istilah estetika secara universal hampir selalu diasosiasikan dengan karya seni, meskipun penghayatan keindahan bukan monopoli karya seni. Di bidang seni, estetika sering menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam.
Penilaian estetika seseorang dipengaruhi oleh ketajaman penghayatan, suasana emosional, kebebasan, selera, pengalaman, keleluasaan apresiasi, ide keindahan, kebenaran, kenikmatan, realitas, sistem nilai, dan rasa aman, karena nilai-nilai tradisi yang telah mapan dalam moral, agama, prinsip, politik, sosial, dan elemen-elemen magis mungkin tidak disadari adanya. Menurut Ellfeldt (1976: 136), estetika membahas tentang teori filosofis tanpa memberi rumus objektif atau bukti-bukti, yang sasarannya untuk membahas aspek-aspek nilai dari sebuah penghayatan.
fungsi utama tari Melayu bukan berarti melupakan kaitan nilai-nilai keindahan tari dengan nilai-nilai budaya Melayu yang lain, karena pertama, sebuah karya seni tidak bertanggung jawab atas kualitas dan penerimaannya oleh penonton. Tanggung jawab ini dipikul oleh keadaan budaya asal karya tersebut. Karya seni bukan sebuah benda yang ditempelkan begitu saja kepada sekelompok masyarakat. Kedua, karya seni timbul dari kualitas yang menjadi ciri-ciri pokok dari masyarakat induknya. Jika masyarakat yang menghasilkan berantakan, maka karya seni yang dihasilkan akan mencerminkan gambaran di atas. Jika masyarakat yang menghasilkannya kokoh dan moralistik, maka keseniannya pun akan menggambarkan hal yang serupa (Nikolais, 1956: 74).
Hal ini menyebabkan Chairul Harun menyarankan untuk mengamati karya-karya tari Indonesia secara artistikantropologis. Saran tersebut didukung oleh pengamat tari lain. Pendekatan semacam ini memang tengah ramai dibicarakan, terutama di kalangan para ahli antropologi tari, seperti pernyataan berikut:
Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984: 5).
3. Jenis-Jenis Tari Melayu
Pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, dan sejak dulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Sinar, 1982: 3).
Jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya.
Selanjutnya T. Luckman Sinar (1982: 5–12) membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot). Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “Malam Berinai Besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu Zapin. Keempat, kelompok tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-patam, dan Gubang. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai”.
Dalam khazanah tari Melayu dikenal empat istilah yang berarti tari, yaitu tandak, yang menekankan pada langkahlangkah kaki; igal, yang menekankan pada gerakan-gerakan tubuh; liuk, yang menekankan pada gerakan merendahkan tubuh dan mengayunkan badan dan tangan seperti menggelai dan melayah; dan tari, yang ditandai dengan gerakan lengan, tangan, dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah tari juga digunakan untuk menyebut tari Melayu pada umumnya (Sheppard, 1972: 82).
Untuk Riau, kelompok tari pertama ditambah tari Mayang (Berasik) yang berfungsi untuk mengobati sakit menahun secara tradisional; tari Bandabus; tari Alu; tari Lukah; dan tari Topeng Binatang. Kelompok kedua ditambah tari Cecah Inai dan tari Olang-olang, sedangkan untuk golongan tari pertunjukan ditambah tarian istana, seperti tari Air Mawar yang dipakai untuk menyambut tamu-tamu penting dan tari Menjunjung Duli (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 123–25).
Menurut almarhum Tengku Nazly A. Mansur, dari beberapa jenis tari di atas, yang sudah digarap dan dikembangkan baru tari Tandak. Tari Tandak digarap dan dikembangkan oleh almarhum Sayuti dan almarhum Tengku Rajih Anwar pada tahun 1950-an. Tari ini kemudian melahirkan tari Serampang XII yang dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun masing-masing kelompok tari memiliki ciri khas, tetapi bagi yang menguasai tari Tandak dapat dengan mudah mempelajari jenis tari Melayu yang lain, sehingga tari Tandak memegang peran penting dalam tari Melayu (Mansur, t.t.). Semula, tari Tandak dimainkan oleh penari upahan dengan mengumpulkan uang sewa. Pada masa lalu tari ini menarik perhatian kalangan istana yang kemudian mengolahnya menjadi tari Joget.
4. Struktur Dan Estetika Tari Melayu
Dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisikal tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976: 160).
Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari kita merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157).
a. Medium atau Bahan Baku
Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang hampir tidak pernah menganalisis keindahan gerak yang dilihatnya. Mereka lebih bereaksi dengan menyatakan kekaguman atau ketidaksenangannya tanpa penjelasan lebih jauh.padahal, dibalik itu, semua seni tari mempunyai keindahan ataupun arti tersendiri dari penciptanya, jadi kita harus memberikan apresiasi positif, agar tari tersebut bisa berkembang pesat sebagai salah satu bentuk kebudayaan Indonesia.Source: baihakierwanda