Perlukah Tari Minangkabau di Patenkan ?

Tari Minang Kabau

Konflik antara Malaysia dengan Indonesia di bidang kebudayaan, yang semula berada dalam tahapan breach, sudah meningkat menjadi crisis. Hal tersebut merupakan reaksi atas claim Malaysia yang menyatakan Reog, lagu Rasa Sayange, Tari Indang (Bahasa Malaysia: Endang), Rendang, dan entah apa lagi, menjadi milik negaranya. Indonesia menjadi “panas”, sebab semua produk budaya itu ada dan berkembang di Indonesia sejak lama. Kelanjutan daripada reaksi tersebut, pemerintah Indonesia mulai menginventarisir produk-produk budaya unggulannya untuk segera dipatenkan atas nama Indonesia.

Tari Payuang Tiba-tiba saja muncul kesadaran baru terhadap pentingnya memelihara produk budaya (terutama kesenian) unggulan sebagai sebuah identitas. Dengan demikian, terjadilah upaya adu cepat antara negara Malaysia dan Indonesia, untuk meng-claim produk-produk budaya unggulan itu menjadi milik negaranya masing-masing. Tiba-tiba lagi, karya seni menjadi hal yang amat penting, sama penting dengan upaya bela negara lainnya. Tari Minangkabau adalah salah satu cabang seni daripada produk budaya itu dan terdiri dalam kategori tari tradisi, tari entertainment dan tari contemporary. Tari-tari tradisi Minangkabau umumnya tidak diketahui siapa penciptanya. Tarian jenis ini hidup dan dikenal sebagai milik suatu daerah dalam budaya Minangkabau, dipelihara oleh masyarakat daerahnya, dan dinyatakan sebagai identitas kedaerahan. Beberapa dari tarian tradisi itu bahkan harus disebutkan nama daerah pemiliknya, seperti Mancak Kotoanau, Sado Pariangan, Piriang Saniangbaka dan lain sebagainya.

dance_piring1 Tari Minangkabau entertainment adalah jenis tarian hiburan yang ditata oleh penata tari Minangkabau dengan menggunakan vokabuler tari tradisi Minangkabau. Beberapa di antaranya telah dikenal dan disukai oleh para penari dan group-group kesenian di Indonesia, di Malaysia, dan di negara-negara yang banyak perantau Minangnya. Tari Minangkabau jenis ini sering dipakai untuk memeriahkan acara-acara hiburan tertentu, seperti helat kawin, pembukaan atau penutupan konferensi, promosi pariwisata, dan lain sebagainya. Tari Minangkabau contemporary agak sulit ditiru dan dilakukan oleh siapa pun kecuali oleh koreografer penciptanya bersama penarinya. Salah satu ciri utama dari tarian jenis ini adalah individualitas koreografernya. Beberapa karya koreografi sekaligus koreografernya, telah dikenal melampaui batas geografis Sumatera Barat. Tarian jenis ini sering ditampilkan pada berbagai festival-festival seni serius dan konferensi-konferensi yang mengusung issue kehidupan seni pertunjukan dan sosial yang umumnya dilakukan pada dunia akademis. Pada berbagai forum seminar dan konferensi nasional dan internasional di bidang kebudayaan, tari Minangkabau jenis ini telah jadi pembicaraan dan juga telah menjadi wacana (discourse) tersendiri sebagai reaksi daripada pertunjukan budaya Minangkabau yang terekspresikan dalam gerakan tarinya.

Adalah Hoerijah Adam, koreografer Minangkabau yang pertama kali mengubah orientasi Tari Minangkabau pada tahun 1968-1971, yang sebelumnya berasaskan pada gerak Tari Melayu kepada gerak yang berasaskan pancak (silat) Minangkabau (Sal Murgiyanto, 2000). Usaha tersebut dia lakukan mengikut kepada perspektif tari tradisi Minangkabau yang juga berasaskan kepada gerakan pancak. Oleh Sal Murgiyanto, Hoerijah Adam disebut sebagai redefining Minangkabau dance (peneguh kembali Tari Minangkabau). Pada tahun 1987, Gusmiati Suid bersama group Gumarang Sakti tampil pada forum festival dan seminar teater internasional di Calcutta, India. Penampilan group tari Minangkabau yang diwakili oleh Gusmiati Suid itu, telah membukakan mata dunia secara lebih luas terhadap fenomena pancak (silat) Minangkabau sebagai asas daripada gerak Tari Minangkabau. Hal demikian terungkap melalui komentar Eugenio Barba, kritikus seni pertunjukan kaliber dunia, sebagaimana dikutip Sal Murgiyanto (2000), menyatakan bahwa Tari Minangkabau memiliki paduan dari sebuah kecermatan, teknik, dan semangat yang menyala sebagai sebuah esensi kehidupan orang Minangkabau. Ianya memiliki suasana yang tegar dan liris dengan elemen tradisional dan kontemporer yang cermat dan membangkitkan fantasi. Sekalipun demikian, Syofyani Yusaf dengan group keseniannya, tetap bertahan dengan tari Minangkabau yang memiliki ciri gerak Tari Melayu.

Sejalan dengan itu, keberadaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) sebagai lembaga pendidikan tinggi kesenian di Sumatera Barat (dulu bernama Konservatori Karawitan [KOKAR] Jurusan Minangkabau, berdiri tahun 1966, seterusnya berubah nama menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia [ASKI] Padangpanjang), ikut memberi pengaruh terhadap wacana perkembangan tari Minangkabau. Di lembaga ini kegiatan menggali, membina dan mengembangkan tari tradisi Minangkabau (pamenan) sangat digalakkan. Aktivitas menggali dan membina dilakukan melalui proses pembelajaran, penelitian, magang, dan latihan-latihan di studio yang melibatkan seniman-seniman tradisi tempatan. Dalam perjalanannya sampai saat ini, lembaga tersebut telah pula melahirkan para koreografer Minangkabau yang berkiprah dalam medan juang tari Indonesia, sehingga ikut mempengaruhi pembentukan identitas Minangkabau dalam tari dan memberi impak yang luas kepada masyarakat umum. Sekarang, para koreografer itu berada tersebar pada berbagai daerah di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat. Halnya Tari Minangkabau yang berkembang di Malaysia, adalah jenis tarian entertaintment yang didapatnya melalui program muhibah kebudayaan Sumatera Barat sejak tahun 1970-an. Umumnya program muhibah itu diwakili oleh group Syofyani, team kesenian ASKI/STSI Padangpanjang, dan group-group kesenian kota/kabupaten di Sumatera Barat. Di Malaysia tidak ada jenis tari tradisi Minangkabau seperti yang terdapat di berbagai nagari Sumatera Barat.

Tari Minangkabau jenis entertaintment yang mereka pelajari, dipelihara dengan baik oleh pemerintah Malaysia, ditampilkan dalam berbagai ivent, dan diajarkan di sekolah-sekolah. Beberapa bunyi pantun daripada iringan musiknya mereka sesuaikan dengan logat Melayu Malaysia seperti yang ditemukan pada pantun-pantun Tari Endang-nya. Produk kebudayaan asal Minangkabau itu sering ditampilkan sebagai promosi wisata Malaysia di Televisi negara itu. Pemerintah Malaysia beralasan bahwa produk kebudayaan tersebut merupakan wujud dari aspirasi masyarakat Malaysia asal Minangkabau, dan oleh karenanya pemerintah Malaysia berani menganggarkan budget yang besar bagi memelihara produk kebudayaan itu, dan ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Sikap pemerintah Malaysia demikian juga berlaku bagi memelihara produk kebudayaan lainnya, seperti lagu Rasa Sayange, Reog, Batik, dan Rendang, yang semuanya memang berkembang di Malaysia sebagai produk budaya yang dibawa oleh migran Indonesia sejak lama. Tidak dinafikan, bahwa masyarakat Indonesia dari berbagai suku telah bermigrasi ke Malaysia sejak abad ke 14 (Bahrin, 1967). Mereka hidup berkelompok ala kampung asalnya hingga dikenal adanya kampung orang Kerinci, kampung orang Minang, orang Jawa, Aceh, Bugis, Maluku, dan lain sebagainya. Kehadiran migran dari Indonesia ke negara itu turut mewarnai kehidupan sosial masyarakat Malaysia, hingga beberapanya terlihat menonjol seperti ditemukan di negara bahagian Negri Sembilan yang memperlihatkan kebudayaan Minangkabau dalam kehidupan masyarakatnya (Sairin, 2002).

Melihat kepada permasalahan di atas, persoalan yang paling mendasar ternyata bukan pada hal claim negara Malaysia atas produk-produk budaya yang ada di negaranya. Tetapi adalah pada kesadaran pemerintah Malaysia dalam memelihara produk-produk kebudayaan yang memang berkembang di negara itu. Meng-claim sebuah produk budaya secara administrasi tentu bisa dilakukan kapan saja. Namun claim tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti oleh tindakan kreatif yang terprogram dan dukungan dana yang memadai. Tindakan demikian sebenarnya merupakan bagian daripada upaya membangun bangsa di bidang mental spiritual, yang hasilnya tidak terlihat sepertimana membangun gedung-gedung dan fasilitas perdagangan. Sayangnya pembangunan di Indonesia masih terkonsentrasi pada tindakan membangun fasilitas fisik, dimana ianya dapat dihitung sebagai tindakan pembangunan yang dapat menaikkan income negara secara langsung. Pembangunan seperti ini dapat dihitung melalui indikator keberhasilannya, dan dengan demikian dapat juga menaikkan taraf popularitas pemerintah. Sementara pembangunan di bidang kebudayaan boleh dianggap sebagai tindakan pembangunan yang hanya menghasilkan sesuatu yang abstrak, tidak nyata, dan tidak dapat diukur dengan angka-angka. Oleh karenanya, pembangunan di bidang kebudayaan belum dianggap sebagai tindakan pembangunan yang favorit. Akan tetapi, ketika Malaysia meng-claim produk-produk budaya yang dianggap abstrak, tidak nyata, dan tidak dapat diukur dengan angka-angka itu sebagai milik negaranya, dada kita terasa sesak, napas bergemuruh, dan suhu badan menjadi panas. Hmmmmm.....????

Indra Utama Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, Mahasiswa Program Ph.D University of Malaya, Malaysia.