Transforming Seni Pertunjukan
Transforming Seni Pertunjukan
Gelembung-gelembung Hegel dalam Media Digital
Oleh: Afrizal Malna, Seniman, tinggal di Yogyakarta.
Transformasi seni pertunjukan lewat media digital adalah perangkap konsumerisme yang tak terelakkan. Usai sudah para Hegelian yang mengabdi kepada roh sebagai substansi akhir.
Ini bidang putih (bayangkan ini bidang putih). Ini bidang hitam (bayangkan ini bidang hitam). Bidang hitam dimasukkan ke dalam bidang putih, menjadi bidang hitam putih. Bidang putih dimasukkan ke dalam bidang hitam, menjadi bidang putih hitam. Bayangkan ketika dua bidang itu dimasukkan bolak-balik antara keduanya dengan cepat: keduanya melahirkan vibrasi dalam kecepatan yang provokatif. Ruang dan waktu menjadi provokatif juga.
Bayangkan seorang aktor sedang memerankan musim dingin. Panggung kosong, sepi yang mengelilingi, hanya tubuh aktor itu berdiri tanpa gerak. Ia hanya bergantung pada ekspresi menciptakan musim dingin lewat tubuhnya. Kita mungkin terpukau menyaksikan akting musim dingin yang sedang diperankannya.
Semua itu berubah ketika tiba-tiba videografis musim dingin ditembakkan ke panggung. Salju turun. Tubuh aktor itu terkubur video grafis mengenai salju itu. Mata kita langsung memutus hubungan dengan aktor itu. Mata kita terprovokasi dan membawa seluruh tubuh kita untuk menikmati salju yang turun di atas panggung itu. Panggung berubah, pandangan kita tentang teater juga ikut berubah. Kita mulai membayangkan sebuah rekayasa visual berlangsung di atas panggung teater dan atas nama teater. Konsentrasi kita kepada tubuh aktor dan teks, terseret masuk ke dalam provokasi visual yang dibawa video itu.
Apakah yang terjadi? Apakah kita sedang melakukan transforming seni pertunjukan atau kita sedang mengubur teater dan masuk ke dalam “seni baru” dengan multimedia sebagai bahasa visual yang kita pertaruhkan?
Saya sangat tidak tertarik berada dalam tema ini, atau memperkirakan apa yang akan terjadi dalam transforming ini. Saya tidak pernah bisa mengagumi video grafis tentang musim dingin, dibandingkan kekaguman saya akan seorang aktor yang sedang memerankan musim dingin. Sejauh-jauhnya saya melangkah ke dalam media digital, saya tidak akan pernah bertemu dengan laut dan musim dingin yang sama yang bisa saya alami lewat kehidupan nyata. Sejauh-jauhnya saya melangkah, tubuh saya tidak bisa terlibat dalam dunia cyber itu.
Bagaimana pun dunia cyber itu tetap sebuah fiksi digital, yang menggandakan narasi lewat provokasi visual yang dilakukannya, dan mata menjadi satu-satunya tuan untuk tubuh saya.
Ketika multimedia mulai memasuki seni pertunjukan, terutama teater, Rujito, maestro untuk banyak senirupa pertunjukan yang dilakukannya dari pertunjukan-pertunjukan Rendra sampai Teater Koma dan Satu Merah Panggung (Ratna Sarumpaet), terus terang tidak menyukai fenomena ini. Rujito menyatakan hal ini dalam konteks pertunjukan Teater Payung Hitam yang mulai menggunakan multimedia.
Untuk Rujito, multimedia sebuah dunia tersendiri. Teater pun sebuah dunia tersendiri yang sudah memiliki sejarahnya sendiri sebelum era multimedia melandanya. Pandangan Rujito ini bisa dipahami karena multimedia bukan semata fasilitas teknis untuk senirupa pertunjukan. Di balik multimedia ada ideologi (kapitalisme dan konsumerisme).
Kita bisa mengatakan Rujito dating dari zaman yang belum mengenal media digital. Lalu bagaimana dengan generasi kini yang memang dunia sehari-harinya tidak bebas dari media digital, dan media itu sudah menjadi bahasa visualnya?
Saat itu, dunia Rujito, dan para Hegelian lainnya yang mengabdi kepada roh sebagai substansi akhir, sudah selesai pada sejarahnya sendiri. Sementara generasi sekarang, memiliki sejarahnya yang lain. Sejarah yang bisa menyimpan dunia dan mengaksesnya hanya lewat ponsel dalam genggaman tangannya. Dan Rujito tinggal gelembung-gelembung dalam pertemuan dua sejarah yang berbeda itu. Hegel termangu-mangu di depan TV.
***
Kalau saya sedang bekerja dengan media video, dalam kerja video art maupun dokumentasi, realitas visual apa pun yang sudah saya rekam, dengan sendirinya realitas itu saya perlakukan sebagai “materi dasar”. Realitas yang sudah saya rekam itu sudah jadi masa lalu (sudah terjadi), walaupun saya merekamnya 1 detik yang lalu. Dia menjadi “layer pertama” atau “layer dasar”.
Di monitor komputer, ketika editing mulai dilakukan, saya menghadapi medan kerja dari dunia visual dan audio yang tidak terbatas: cahaya, warna, bentuk, format, suara, effek dan aplikasi kerja maupun keputusan-keputusan visual dalam berbagai layer tanpa batas. Saya tidak lagi mengandaikan emosi maupun jiwa yang banyak dipersoalkan dalam strategi visual para Hegelian (modernis). Yang datang kepada saya hampir sepenuhnya sebuah proses panjang dari negosiasi visual antara saya sebagai operator dengan fasilitas-fasilitas visual dari program editing yang saya gunakan. Dunia di monitor komputer saya merupakan satu-satunya realitas yang saya hadapi.
Penggandaan narasi kemudian berlangsung sedemikian rupa, yang mengubah realitas pertama yang saya rekam, menjadi realitas yang telah mengenakan “kostum digital”. Kostum digital ini membuka sebuah komunikasi baru dengan muatan provokasi visual yang mungkin menghasilkan penggandaan narasi setelah sampai ke publik. Kerja dengan layer tak berbatas, berlangsung kembali menyentuh dinding-dinding paling sensitif dari resepsi publik. Publik mengolah kembali produk video itu lewat layer-layer budaya yang sudah menjadi lingkungan kognitif mereka, terutama lewat program tv yang sifatnya news dan menciptakan isu yang luas.
Efek penggandaan narasi ini sebenarnya tidak asing dalam masyarakat kita yang hidup dalam budaya lisan. Kita hampir terbiasa mengubah realitas pertama menjadi agenda lisan yang tak terbatas dalam setiap terjadi obrolan dalam berbagai konteks dengan melupakan referen pertamanya. Bahkan sebagian masyarakat kita mengenal sebuah penyakit yang sering kita sebut sebagai “latah”. Budaya lisan juga diproduksi lewat mekanisme “latah” seperti ini. Karena itu, efek penggandaan narasi yang berlangsung lewat media audio-visual, juga berlangsung lewat budaya lisan. Dua media itu masing-masing saling melakukan penggandaan narasi.
Transforming media seni pertunjukan lewat multimedia, seperti gelembung-gelembung Hegel yang mempermainkan roh dalam rekayasa elektrik. Roh bukan lagi pencarian laten, melainkan permainan latah dalam efek-efek digital. Roh digital dan roh estetis, sama dengan bergesernya idealisme dalam modernisme menjadi pragmatisme pencarian tema dalam seni kontemporer (posmodernisme). Transforming seni pertunjukan lewat media digital, merupakan perangkap konsumerisme yang laten. Harafiah: tak terelakkan. Ketika teknologi lahir, ketakutan pada mesin, teater melihat kembali konsep bio-mesin Meyerhold.
Tetapi mata kita mata yang tidak sendirian. Mata yang melakukan negosiasi dengan bagian-bagian lain dari tubuh kita. Transforming itu pada gilirannya merupakan sebuah peperangan panjang dari bagaimana kita mempersepsi dunia di sekitar kita lewat tubuh, atau sebaliknya lewat mekanika elektrik.
disadur dari : http://www.gong.tikar.or.id/?mn=sorot&kd=136
0 komentar:
Posting Komentar