Teater Anak Menggarap Alam

foto

Ide pertunjukan yang dilakonkan oleh anak-anak itu sederhana saja. Mengangkat isu keprihatinan sekaligus kritik untuk manusia yang telah semena-mena memperlakukan alam. Sebuah garapan yang memperlihatkan keceriaan dan spontanitas peran khas anak-anak. Lihatlah kostum yang mereka kenakan: rambut penuh warna-warni mencolok dengan berbagai model, kemeja yang tak dikancingkan, celana batik, dan kaki bersepatu dengan kaus kaki superpanjang bermotif lurik. Ciri khas anak-anak yang tak banyak mempersoalkan mode.

Digawangi sutradara gaek Jose Rizal Manua, 15 anak yang tergabung dalam Teater Tanah Air itu beradu akting dalam pertunjukan berjudul Spectacle Zero di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, selama dua hari berturut-turut, Sabtu lalu dan kemarin. "Pertunjukan ini menjajal lakon baru sebelum dipentaskan di Jerman bulan depan," ujar Jose seusai pentas pertama.

Ya, anak-anak berumur 10-13 tahun tersebut akan membawakan karya yang ditulis oleh Putu Wijaya itu dalam 11th World Festival of Children Theatre di Lingen, Jerman, Juni mendatang. Mereka telah berlatih selama enam bulan untuk mempersiapkan pementasan ini.

Tak sulit bagi Jose untuk melatih mereka. "Yang tidak saya lakukan adalah intervensi terhadap mereka," ujar Jose. Ia justru membebaskan anak-anak bereksplorasi agar mereka tidak terbebani dalam melakukan perannya.

Spectacle Zero bercerita tentang sekelompok manusia yang masih merawat dan menjaga bumi. Manusia yang diperankan anak-anak itu selalu mengisi hari dengan keceriaan. Celoteh dan keriangan mereka suatu kali harus terhenti lantaran kedatangan dua penjahat bertubuh tambun yang merusak alam. Mereka mulai menebang pohon, membuka lahan, dan menanaminya dengan gedung-gedung bertingkat. Langit tak lagi biru, karena telah tergantikan oleh baja.

Anak-anak alam tersandera. Penjahat itu memasukkan mereka ke dalam sebuah tirai putih besar yang dibentangkan di belakang panggung. Lalu muncullah pemimpin anak-anak alam yang mengajak urun rembuk dua penjahat itu. Dengan kecerdasannya, kedua penjahat itu berhasil diperdayai. Tubuh tambun keduanya lemas lunglai setelah diberi petasan. Sang pemimpin pun segera membebaskan teman-temannya. Anak-anak itu kemudian berdebat soal hendak diapakan kedua penjahat itu. Sungguh sayang, ketika anak-anak alam itu berdebat, kedua penjahat itu berhasil kabur.

Hingga suatu ketika, penjahat itu menyesali perbuatannya. Mereka sadar, gara-gara ulah mereka, bumi menjadi rusak. Bersamaan itu pula, datanglah makhluk luar angkasa yang mencari tempat tak berpenghuni untuk membuang limbah nuklir dari planetnya. Segera anak-anak alam dan penjahat itu bersatu padu untuk menumbuhkan cinta serta kehidupan di bumi yang telah rusak.

Mereka bersama-sama menyusun kembali kotak bergambar bunga matahari sebagai simbol kehidupan. Saat alien yang dihadirkan di panggung dalam wujud boneka besar itu kembali lagi ke bumi, radar mereka mengendus adanya kehidupan dan cinta kasih. Mereka akhirnya urung menjadikan bumi sebagai tempat pembuangan limbah. Sorak-sorai kembali bergema. Mereka bersukacita dan berjanji akan merawat kembali bumi yang telah rusak itu.

Selama pertunjukan, para pemain berkali-kali berinteraksi dengan penonton. Sesekali mereka turun ke panggung dan mengajak penonton anak-anak berperan aktif. Lihat saja adegan ketika anak-anak rimba ini meminta penonton membawa dua penjahat yang masih berkeliaran di seputar tempat duduk itu agar dibawa ke atas panggung. Atau ketika beberapa anak membantu menarik tali yang menghubungkan tirai besar putih agar terangkat guna membebaskan anak-anak alam yang tersandera. "Anak-anak sudah spontan. Mereka baru pertama kali dihadapkan dengan publik. Biasanya, jika bertemu dengan publik yang spontan, mereka akan lebih spontan lagi," ujar Putu Wijaya.

Tata panggung dan pencahayaan yang dihadirkan sangat sederhana. Namun, bagi Jose,  teknik panggung yang sederhana ini justru lebih eksotis untuk disajikan kepada publik dunia yang menyaksikan 11th World Festival of Children Theatre itu. "Kami memberi ruang imajinasi bagi mereka. Kalau kami memakai teknik yang canggih, mereka justru lebih canggih," ujar Jose.

Sayangnya, tata lampu juga digarap terlampau sederhana. Akibatnya, efek yang semestinya bisa mendramatisasi peran dan situasi tak muncul secara maksimal. Belum lagi kematangan artikulasi dalam dialog maupun kontrol nada dan intonasi pemain yang rasanya perlu dievaluasi kembali. Putu sendiri sangat memaklumi masalah itu, karena pertunjukan ini hanyalah proses menjajal kemampuan sebelum kompetisi sesungguhnya diselenggarakan. "Jangan sampai suara anak-anak mendadak habis ketika berperan nanti," ujar Putu.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang turut menyaksikan pertunjukan itu menyampaikan apresiasinya. "Ini merupakan bagian refleksi karya anak bangsa. Jadi, keliru kalau dikatakan kita tak pernah menilai karya bangsa sendiri," ujarnya seusai pertunjukan itu. | Ismi Wahid
Bunga Matahari Van Gogh

Putu Wijaya sebagai penulis naskah Spectacle Zero sengaja memilih bunga matahari sebagai simbol kehidupan dan kelestarian di muka bumi. Alasannya sangat sederhana, karena publik luar negeri sangat akrab dengan lukisan tersebut.

Ya, Putu memilih lukisan Vincent van Gogh berjudul Sunflowers Vase with Fifteen Sunflowers, 1888. "Nanti kami akan bertemu dengan audiens Barat. Sebetulnya bisa yang lain, tapi gambar itu adalah simbol yang dikenal betul oleh mereka," ujar Putu.

Lukisan tersebut digambar pada kotak-kotak kayu dan dipotong-potong menjadi enam bagian. Dalam naskah yang ditulis Putu, para penonton yang sebagian besar anak-anak  itulah yang ikut menyusun kotak-kotak kayu, bukan pemain. "Menata alam itu penting. Kalau anak-anak salah menyusun, kan jadi ramai," ujarnya. Adegan ini juga menjadikan lakon garapan sutradara Jose Rizal Manua itu lebih interaktif dengan penonton.

Selain itu, naskah yang dibuat Putu sangat visual. Karena itu, menurut Putu, kata-kata  tak begitu penting. Bahasa tak lagi menjadi sandaran. Semua itu disiasati dengan pencahayaan yang hanya men-spot pemain tertentu. Bahkan visualisasi pada layar diperlukan untuk menjelaskan kepada penonton.

Pemilihan ide cerita yang mengangkat tentang alam ini, menurut Putu, sangat relevan dan universal. Anak-anak, dia melanjutkan, tak pernah diikutsertakan dalam memecahkan problem lingkungan. Padahal mereka selalu dielu-elukan sebagai ahli waris masa mendatang.

Putu sebetulnya ingin menyentil peran orang dewasa, yang tanpa sadar mengajarkan perang terhadap alam. Bagi Putu, anak-anak tidak perlu serumit itu dalam menangkap pesan yang tersirat dalam pertunjukan. "Yang terpenting bagi anak-anak adalah bagaimana mereka bisa merasakan ngeri, gembira, bahkan ceria," ujar Putu.

Ekspresi semacam itu sudah terwakili ketika anak-anak bernyanyi, bahkan melakonkan beberapa gerakan perkusif di atas panggung. Namun spontanitas anak-anak tak kalah penting dalam pengadeganan. "Spontanitas itu menyenangkan orang," ujarnya. | Ismi Wahid. Source: tempointeraktif