Seni Rupa:Tragedi Lapindo Dalam Lukisan

foto

Ribuan orang berkubang dalam lumpur. Wajahnya mengekspresikan kemarahan. Sabit dan cangkul diacungkan ke udara. Di awan, dua malaikat membentang kain, mengartikulasikan kemarahan mereka. Karena tambang eksplorasimu, semua ini terjadi. Sejarah, budaya, kenangan & ekonomi kami hancur & lenyap. Bayar lunas tanah, rumah, semua warga Porong Sidoarjo yang tenggelam, dengan adil”, begitu tetulis pada kain yang dibentang dua malaikat itu.


Perupa Imam Abdilah mencoba merangkum persoalan bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu dalam lukisan berjudul And Justice for All. Imam adalah satu dari 43 perupa yang menggelar pameran bersama bertajuk Bercermin dalam Lumpur di El Pueblo Café, Yogyakarta, 7-10 Mei 2010.


“Korban bencana lumpur Lapindo marah karena telah diperlakukan tidak adil. Mereka nyaris putus asa menuntut keadilan, sampai malaikatpun turun tangan membela mereka,” jelas Imam Abdilah, lulusan STM Semarang jurusan bangunan tahun 1995 itu.
Pameran yang menghadirkan 63 lukisan ini memang dimaksudkan untuk mengenang empat tahun tragedi bencana lumpur Lapindo. Sebagian dari hasil penjualan lukisan akan disumbangkan untuk para korban lumpur Lapindo. “Sumbangan mulai dari 30 sampai 100 persen harga lukisan, tergantung komitmen perupanya,” jelas Menik Siti, koodinator pameran.


Jika Imam menyikapi bencana Lapindo ini secara serius dari sisi hukum, perupa Surya Wirawan justru mendekati melalui cara sindirian. Surya Wirawan, salah satu pendiri Kelompok Taring Padi, menghadirkan tiga karya berseri berjudul “Pantun Peyek Ayo Diremet” bergaya komik.


Meski bergaya komik, Surya Wirawan tetap tak kehilangan ketajamandalam menyorot persoalan bencana Lapindo. Pada salah satu karyanya, Surya “memotret” dua orang pemuda yang tengah menggelar aksi unjuk rasa di depan sebuah pesta perkawinan mewah.


“Meriah pesta penuh lampu gmebyar. Penuh pula meja kue dan roti,” begitu tertulis pada poster yang dipegang salah satu demonstran. Sementara demonstran lain memegang poster beruliskan “Si mentri Bakri mantu bermilyar-milyar, rakyat tuntut ganti rugi dianggap sepi”.


Tidak semua karya yang dipamerkan di El Pueblo Café ini merespons tentang bencana lumpur Lapindo. Perupa Dodi Irawan, misalnya, meski tetap menampilkan “adegan” korban bencana melalui dua karya grafisnya, namun bukan “potret” bencana lumpur Lapindo. “Namanya juga pameran bersifat penggalangan dana, jadi bisa karya apa saja,” kata Dodi, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 1995 yang tak sempat menamatkan pendidikannya itu.


Selain dari prosentase penjualan lukisan, penggalangan dana juga dilakukan dengan cara penjualan benda-benda souvenir selama empat hari pentas seni di El Pueblo Café. Pentas seni ini diisi dengan pembacaan puisi, pertunjukan music dan performance art.
“Tanggal 23 hingga 29 Mei nanti 15 oang anggota Taring Padi akan berangkat ke Porong, Sidoarjo untuk menggelar pentas budaya, sekaligus mengenang empat tahun tragedi bencara lumpur Lapindo. Sementara para korban lumpur Lapindo akan pentas kesenan Ludruk,” jelas Menik Sri.Source:tempointeraktif