Seni teater sebagai seni pertunjukan

Seni Teater
(terdapat hampir di seluruh daerah wilayah Indonesia) merupakan jenis senipertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan sangat akrab denganpubliknya, yaitu ‘masyarakat seni teater’ sebagai seni pertunjukan. Termasuk didalamnya: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager,kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni (lembaga pemerintah ataunon-pemerintah), alam semesta dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek,seni, dan pariwisata) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi paraseniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga sekolah atau kampus (baikformal maupun non-formal), sanggar, kelompok, paguyuban, penikmat, pemerhati,kritikus seni atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen,maupun empu seni, dan jangan lupa para penonton karya seni (baik para pecanduseni maupun yang awam seni sekali pun). Baik menggunakan sarana visual,auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan ataupergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer.Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktorpenunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap senipertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadianeh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa? Itulahsebabnya, pengkajian atau penelitian terhadap motivasi, psikologi, sikap atauperilaku para penonton menjadi penting artinya. Juga buat para pejabat ataupenguasa yang sering kurang ramah, bahkan mengecilkan arti terhadap tontonandan penonton, sehingga mengambil ‘jalan pintas’ sebaiknya melarang saja suatu
seni pertunjukan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ‘anarkis’.Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan merupakan lembaga sosial,dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem,sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya yang amatkaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun olehSeni Pertunjukan, baik tanda-tanda ikonik, indeksikal, maupun tanda-tanda
simbolis.Dalam proses dramaturgi, sebagai sebuah proses teater, seniteater sebagai seni pertunjukan merupakan tempat pertemuan, kolaborasi hampirseluruh cabang seni dan seniman di dalamnya (bahkan termasuk non-seni dannon-seniman sekali pun), untuk mewujudkan sebuah karya seni yang bulat utuh,ansambel, dan harmonis. Dalam kondisi demikian, seni teater sebagai senikolektif, bisa memupuk sikap kerja sama, gotong royong, solidaritas, toleransiatau tenggang rasa, dan demokrasi. Maka, proses penciptaan dan proses pengkajian seni teater sebagai seni pertunjukan untuk bisa menghayati danmemahami kandungan maknanya bersifat hirarkis, berkesinambungan, berkelanjutan
secara timbal-balik (formula dramaturgi). Untuk itu diperlukan kecermatan,kehati-hatian, dan nyali yang tinggi, bersifat multi dan atau interdisipliner,lintas dan silang budaya – budaya lokal – nasional – regional – global, danbegitu sebaliknya. Dalam kaitannya dengan konteks budaya, karya seni, termasukseni teater, sejak awal kehadirannya tidak dalam keadaan kosong. Artinya,kondisi sosial budaya sangat berpengaruh terhadap karakteristik seni. Sosialbudaya Indonesia yang multi etnik, multi kultur, multi dimensi, menjadikan seni
teater di Indonesia tidak steril dari pengaruh kondisi lokal – global.Seperti halnya terhadap bidang-bidang ilmu dan cabang-cabangseni lainnya, seni sastra jenis seni drama dan atau teater sering dipertanyakansebagai ilmu atau sebagai seni? Jawabnya tentu kedua-duanya, yaitu sebagai ilmudan sebagai seni. Sebagai ilmu, seni teater dapat dikaji dan diteliti seperti
ilmu-ilmu lainnya dengan menggunakan metode dan konvensi, kaidah, atau teori tertentu yang relevan dengan objek kajiannya. Sebagai seni, seni teater bisa dihayati dan dipahami seperti seni-seni yang lain yang bersifat verstehen, artinya lebih menekankan pada pemahaman daripada pengertian. Ada tiga konvensiyang harus digunakan untuk memahami setiap karya seni, termasuk seni teater, yaitu konvensi ‘bahasa’ (gramatika seni), konvensi seninya itu sendiri, dan konvensi budaya yang melingkupinya dimana karya seni itu berada. Karena budaya Indonesia adalah multi etnik, multi kultur, danpluralis, maka seni teater di Indonesia juga bersifat demikian. Betapa pun setiap daerah di Indonesia ada jenis seni teaternya sendiri (teater daerah atau teater tradisional), misalnya lenong di Betawi – Jakarta, kethoprak di Jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang di Jawa dan Bali, lodrug di Jawa Timur, randai di Padang, makyong di Riau; bahkan seni pewayangan atau seni pedalangan dibeberapa daerah di Indonesia dan di luar Indonesia misalnya Kelantan, India,Thailand, atau Cina, memiliki karakteristiknya masing-masing sesuai denganbudaya tempat seni pewayangan atau seni pedalangan itu berada, tumbuh danberkembang. Hegemoni konvensi Barat terhadap seni tidak bisa dipungkiri, halyang juga berlaku atau terjadi buat bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain diIndonesia. Namun, dalam proses penjadian, tumbuh, dan perkembangannya, seni(dalam hal ini seni teater), warna lokal telah ‘bercampur’ atau ‘lebur’ denganwarna lokal yang lain dan warna global, dengan berbagai teknik garap dan gayamasing-masing telah mewarnai karya-karya seni di Indonesia, tidak terkecualiseni teater. Bahkan, menurut hemat saya, karena sifatnya yang kolektif,kolaboratif, kompleks, tetapi ansambel dan harmonis, menjadikan seni teater diIndonesia sangat potensial punya warna lokal – global. Dengan kata lain, seniteater sangat potensial untuk dijadikan wahana pemersatu budaya bangsa danbudaya antar-bangsa. Yang pada gilirannya sangat berpotensi sebagai wahanapemersatu bangsa dan antar-bangsa. Melalui pergelaran bersama kesenian yangkolaboratif seperti seni teater, diharapkan kita, bangsa Indonesia, bisaterhindar dari konflik antar-etnik, antar-kultural, antar-suku, antar-daerah,dan ujung-ujungnya diharapkan bisa terhindar dari potensi timbulnyadisintegrasi antar-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Terhindar dari disintegrasi
bangsa Indonesia. Dalam pandanganSosiologi Seni dan Psikologi Seni, karya seni (dalam hal ini seni teater),diyakini banyak bergantung atau berkolerasi dengan faktor-faktor psiko-sosialdan kultural yang melingkupinya. Faktor-faktor psiko-sosio-kultural yangmelingkupi tersebut meliputi psiko-sosio-kultural pencipta seni(psiko-sosio-kultural seni), psiko-sosio-kultural karya seninya itu sendiri(psiko-sosio-kultural seniman), dan psiko-sosio-kultural audience ataupubliknya (psiko-sosio-kultural audience atau publik), termasuk para pejabat
pemerintahan, para politisi, para penyelenggara kesenian (baik lembaga,kelompok, sanggar, atau perorangan). Begitu kompleks dan kolaboratifnya seni teater, sejak masih
dalam ide, gagasan atau angan-angan, proses penciptaan, garapan, dan prosespenjadian dan penyajiannya, seni bukan hanya merupakan fokus sosiologi seni danpsikologi seni, tetapi juga fokus budaya dalam pengertian tidak sempit. Melihat realita demikian, dengan mengambil contoh proses teatersebagai seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kolaboratif, dan komunikatifdengan publiknya, kita bisa menyusun paradigma baru sebagai alternatif dalammenyusun konsep dan strategi kebudayaan (di) Indonesia yang multi etnik, multi kultur, dan pluralis ini sehingga terhindar dari potensi disintegrasi bangsa.

Sumber:http://phoenk.blog.friendster.com/2008/08/seni-teater-sebagai-seni-pertunjukan/