Seorang Basis yang Merasa Bebas:Indro Hardjodikoro

Indro Hardjodikoro

Layar terangkat perlahan-lahan. Tepuk tangan pun kian riuh. Di panggung, sendirian di antara perangkat drum, keyboard, pengeras suara, dan monitor speaker, basis Indro Hardjodikoro perlahan-lahan memetik dawai Fodera 6-String-nya. Not demi not, dari seperti berbisik hingga makin lama makin tegas, sampai akhirnya bangunan utama intro salah satu nomor di album perdananya utuh masuk ke telinga penonton. Tak salah: Feels Free.


Sendirian dan membawakan komposisi yang tak menggebrak merupakan cara yang surprising untuk memulai konser. Jarang musisi yang berani menempuh cara seperti Indro; pada konsernya di Italia untuk album Up (bisa disaksikan melalui DVD Growing Up Live), Peter Gabriel membuktikan betapa menyentaknya formula semacam ini. Seperti mantan vokalis dan penulis lagu Genesis, band progresif rock dari Inggris, itu, Indro juga telak melampaui ekspektasi penonton. Dan dengan begitu, pada Rabu pekan lalu dia berhasil meletakkan fondasi yang kukuh bagi bangunan setnya untuk konser sehubungan dengan rilis albumnya yang berjudul Feels Free.


"Bermain musik pun, kalau keluar dari hati, pasti bebas," kata Indro tentang pilihan judul albumnya, saat jeda setelah memainkan tiga lagu berturut-turut--Feels Free, I Like Surprises, dan Drum and Bass. "Itu yang kita semua ingin, kan?"


Spirit bebas, rileks, juga egaliter, sangat terasa dalam konser malam itu, yang sekaligus merupakan rangkaian kegiatan pra-Jazz at Fort Rotterdam yang kedua di Makassar pada 31 Juli-1 Agustus nanti. Bukan semata karena 300-an penonton yang memenuhi kursi auditorium Erasmus Huis, Jakarta, bisa dengan enteng menyeletuk "Indro gila" dan memicu gelak tawa bahkan dari Indro, misalnya. Tapi, di samping itu, sepanjang lebih-kurang 90 menit panggung memang memancarkan vibrasi yang membuat orang bagai tanpa hambatan apa pun. Indro dan para musisi pendukungnya--Lal Intje Makkah (keyboard, keytar), Demas Narawangsa (drum), Tohpati (gitar), Oele Pattiselanno (gitar), dan bahkan tiga pemain bas muda berbakat, Fajar Adi Nugroho, Shadu Shah Chaidar, serta Nissa Hamzah--seperti kelompok sekawan yang sedang bersenang-senang setelah lama tak berjumpa. Tak ada batas usia.


Di atas semuanya, yang tampak seperti huruf-huruf yang di-Stabilo, atau not-not yang dibunyikan dengan vibrato, adalah Indro sebagai basis yang mengeksplorasi instrumennya di luar wilayah ritme saja. Dia menunjukkan betapa bas juga bisa menjadi instrumen yang memimpin melodi suatu komposisi. Dia mengingatkan orang pada, misalnya, Jaco Pastorius. Di tangannya, dawai bas bisa dimainkan untuk berimprovisasi solo seperti pada gitar. Setiap kali melakukannya, jemari kirinya bagai gerakan laba-laba, gesit berpindah fret dan dawai.


Semua itu terlihat bukan hanya di nomor-nomor yang riang, playful, dan menggairahkan, tapi juga di komposisi-komposisi balada yang tenang dan mengelus. Misalnya pada My Angels, yang dia sajikan berduet dengan gitaris yang sejak 20-an tahun lalu menjadi karibnya, Tohpati. Tidak ada percakapan verbal di antara mereka. Yang berlangsung adalah dialog intens antara frase melodi dari gitar dan bas.


Atau saat memainkan nomor standar All The Things You Want, juga Menyapa Pagiku, salah satu balada dari album Feels Free. Dia berdua dengan gitaris senior Oele Pattiselanno. Pada penampilan "om dan keponakan" yang terkesan hangat ini Indro membubuhkan melodi yang terasa kuat bercerita, bergantian dengan petikan Oele yang bukan hanya bersih dan jernih, tapi juga bernyawa. "Saya pernah satu sekolah dengan Om Oele," Indro berkata, "dia dosen dan saya mahasiswanya." Penonton tergelak.
Yang juga sulit diabaikan, tapi barangkali tak masuk dalam ekspektasi penonton, adalah bagaimana konser dikemas sebagai tontonan. Bahkan sebagai sebuah acara formal peluncuran album, konser ini seperti jamuan makan malam santai dan penuh keakraban, yang hidangannya terus mengalir sekalipun tuan rumahnya memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk berpidato.


Begitulah. Konser menyelipkan tayangan endorsement dari para musisi yang mengenal Indro. Ada pula intermezzo tanya-jawab renyah, antara pembawa acara dan Indro atau antara Indro dan musisi tamunya. Tapi tak satu pun yang mengganggu dan dilewatkan oleh penonton. Dan "buah cherry di atas kue"-nya adalah betapa Indro bisa tetap rileks meskipun harus mengerahkan kemampuan dan energinya habis-habisan untuk menyajikan lebih dari selusin nomor repertoar: dia menjadi dirinya sendiri yang spontan, riang, dan rendah hati--seperti musiknya. l Purwanto SetiadiSource.Kompas.com